Teater Awal SMAN 6 Garut Kesurupan di Panggung Saat Bawa Cerita Fenomena Generasi Z Kecanduan Media Sosial

”Mak, kapan pulang? Aku pengen makan. Bersama meja yang mengigil ini, aku menunggumu.”

Tampak di panggung, seorang anak dan ibu sedang makan di meja makan dengan posisi saling membelakangi. Keduanya menghadap gadget masing-masing dan makan dengan caranya masing-masing. Sang anak makan dengan cara “mukbang”, sementara ibunya makan seperti biasa.

Teater Awal SMAN 6 Garut Kesurupan di Panggung

Inilah secuplik adegan dalam pertunjukan teater berjudul ”I-Strawberry” oleh Teater Awal SMAN 6 Garut di Gedung Kamuning Gading Kota Bogor dalam rangkaian Festival Teater Madya, Selasa (25/7). Naskah karya Darryl Haryanto ini bercerita tentang keseharian remaja generasi Z dengan berbagai dinamika kehidupan pribadinya yang ketagihan media sosial. Pertunjukan teater ini ingin menggambarkan bagaimana remaja masa kini atau generasi Z sangat bergantung pada media sosial, namun di sisi lain mereka mendapat tuntutan lingkungan.

Naskah ini ”fresh” dan ”relate” dengan para pemain yang masih pelajar SMA yang dekat dengan media sosial. Para pelajar kerap kali meniru ”influencer” di media sosial. ”I-Strawberry” juga menggambarkan bagaimana seorang remaja generasi Z ini yang harus menjadi orang lain di media sosial. Ia dituntut tetap bahagia di dunia maya, sementara kehidupan nyatanya ia sedih, bahkan tertekan.

Baca juga:
Teater Air SMAN 9 Kota Bogor Jadi TKI di FTM

Lahir dari Keresahan Para Pemain

Sutradara ”I-Strawberry” Ahmad Hayya Aulia Sidik menjelaskan, naskah ini lahir dari keresahan-keresahan para pemain yang dialami di kehidupan sehari-hari. Naskah asli Darryl Haryanto dirancang ulang menyesuaikan pengalaman pribadi pada pemain ”I-Strawberry”. Ia bahkan menyebut hampir seluruh ceritanya lahir dari kehidupan pribadi para aktor, baik di sekolah, di lingkungan, maupun di rumah.

”Inspirasi naskah ini hampir seluruhnya dari cerita aktor-aktor saya yang berjuang dalam hidupnya. Kita percaya bahwa teater adalah salah satu tempat untuk berbicara tanpa di-judge oleh siapapun. Dan karena itu, kita berani terbuka atas kehidupan itu sendiri,” kata Hayya usai pementasan teater.

Hayya mengatakan tidak ada pesan khusus dalam pertunjukan teater ”I-Strawberry” ini. Namun, ia menegaskan Teater Awal SMAN 6 Garut sepakat bahwa pertunjukan teater ini menjadi wadah bagi para aktor untuk berdamai dengan berbagai masalah.

”Tidak ada value secara detil. Kami menyepakati bersama, bahwa potret dalam ”I-Strawberry merupakan upaya berdamai aktor-aktor Teater Awal atas masalah besar masing-masing,” kata Hayya.

TEATER TUBUH DAN SIMBOL

Teater Awal SMAN 6 Garut mempresentasikan naskah ”I-Strawberry” ini dengan konsep teater tubuh yang kaya akan simbol. Seperti adegan di atas yang menggambarkan kontrasnya pola hidup seorang anak yang lahir sebagai generasi Z dan seorang ibu yang lahir sebagai generasi pendahulunya. Adegan saling membelakangi barangkali menjadi simbol perbedaan tersebut.

Simbol lain dalam pertunjukan teater ini adalah adegan kesurupan. Menurut sang sutradara, Hayya, adegan kesurupan ini menjadi gambaran bagaimana seorang remaja generazi Z yang tersiksa saat tidak bersentuhan dengan media sosial. Remaja tersebut merasa hampa hidup tanpa gadget. Situasi inilah yang kemudian berupa kerusupan.

”Apa jadinya, jika aku-kita tidak bersentuhan dengan gadget atau media sosial? Merasa hampa. Rasa hampa itu seolah dapat membunuhnya. Lebih jauh, pemilihan kesurupan bukan hanya tentang trance. Tapi kami mencoba sampai titik di mana ketidaksadaran kita atas realitas digital dapat membuat orang lain sakit hati di kehidupan nyatanya,” papar Hayya.

Aktor Mengeluh Sakit Badan

Koreografer pertunjukan teater ”I-Strawerry”, Muhammad Surruri Purawinata mengungkapkan bahwa setiap gerak tubuh para aktor merupakan hasil riset dan eksplorasi mereka sendiri berdasarkan pengalaman pribadi. Ia mengaku hanya memoles gerakan agar lebih berpadu dan indah. Dengan keterlibatan aktor dalam setiap pembentukan gerak ini, Surruri mengungkapkan pertunjukan teater ini menjadi lebih dekat antara pemain dan penonton.

Surruri tidak menampik bahwa proses teater tubuh berat karena butuh olah tubuh dan pikiran. Ia mengatakan, para aktor mengeluh sakit badan saat awal latihan. Bahkan, kata Surruri, para aktor belum paham tentang teater tubuh dan cerita dari naskah tersebut. Namun dengan proses eksplorasi, perlahan para aktor mulai memahami karena cerita yang diangkat berasal dari masalah keseharian para aktor sendiri. 

”Awalnya, para aktor mengeluh sakit badan.  Tapi lambat laun, mereka akhirnya ngerti, bisa ngejar, karena masalah yang berangkat dari mereka juga. Pada akhirnya, bentuk (gerak tubuh) yang keluar, bentuk dari mereka juga,” tutur Surruri. 

Pementasan Teater Awal SMAN 6 Garut Semuanya perempuan

Dalam mempresentasikan teater tubuh ini, kata Hayya, Teater Awal menggunakan aktor yang semuanya adalah perempuan. Di awal latihan, Hayya mengaku harus meyakinkan dulu para aktor bahwa tubuh mereka memiliki daya yang kuat dan jujur dalam menyampaikan berbagai hal kepada penonton. Ia menambahkan, para aktor sempat tidak percaya diri. Hal ini diakuinya sangat merepotkan. Namun, ia terus meyakinkan para aktornya bahwa mereka bisa melakukan banyak hal dengan tubuhnya. Ia meminta para aktornya agar membuang pemikiran bahwa perempuan sangat terbatas akan tubuhnya.

”Pertama kali latihan, saya berbicara seperti ini kepada anak-anak, ’manusia dari bayi hingga dewasa, bertumbuh atas banyak kegagalan dan rasa sakit. Belajar berdiri, belajar berjalan, belajar bersepeda. Semuanya tentang waktu dan konsistensi’,” kata Hayya.

Baca juga:
Teater Kampus ini Kasih "Warning" Bahayanya Judi Online

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *