Teater Kashva Tafsir Ulang Karya Arifin C Noer Jadi “Boneka Kaca”, Kekinian Banget!

Teater Kashva Boneka Kaca

Teater Kashva SMAN 1 Parungkuda Kabupaten Sukabumi tafsir ulang naskah legendaris dari penulis yang juga legendaris, Arifin C Noer, “Kapai-kapai” menjadi karya kekininan berjudul “Boneka Kaca” karya Wildan Kurnia. Teater Kashva membawakan naskah ini dalam rangkaian pementasan teater Festival Teater Madya (FTM) di Gedung Kamuning Gading Kota Bogor, Rabu (26/7).

Pementasan di hari ketiga FTM ini, Wildan, yang juga menjadi sutradara pementasan teater “Boneka Kaca”, menjelaskan naskah “Kapai-kapai” bercerita tentang pencarian seseorang yang mencari kebahagiaan dengan berbagai cara. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, ia masuk ke dunia ilusi yang meyakinkan dirinya bahwa kebahagiaan bisa datang setelah kematian. 

Wildan menggunakan kerangka cerita “Kapai-kapai” ini dan mengubahnya menjadi cerita masa kini berjudul “Boneka Kaca”. Seorang remaja putri yang mencari kebahagiaan karena di rumahnya ia dituntut oleh orang tua dengan segala aturan yang mengungkungnya. Remaja putri dalam cerita ini tampak tidak bahagia karena harus selalu mengikuti kemauan orang tuanya. Ia lalu bertemu dengan “Boneka Kaca” berbentuk balerina yang mengajaknya mencari kebahagiaan di dunia digital, yakni media sosial. 

Menurut Wildan, cerita “Boneka Kaca” muncul dari pengalaman pribadi para aktor agar ada kedekatan. Mereka sebagai pelajar merasa “insecure” dengan tuntutan orang tua untuk mendapatkan nilai akademik yang bagus, serta aturan orang tua yang banyak membatasi kebebasan sang anak. Orang tua lebih mengedepankan nilai rapor daripada dengan minat dan bakat anaknya. 

Wildan mengungkapkan, ia memasukkan unsur-unsur kekinian berupa aktivitas di platform media sosial, agar pesan dari cerita “Boneka Kaca” dekat dengan penonton yang sebagian besar adalah pelajar. 

“Anak-anak remaja sekarang kan sering pakai media sosial, buat dance atau jual-beli. Relasinya adalah mereka dekat dengan sosial media, tapi menjauh dengan realitas,” kata Wildan usai pementasan teater “Boneka Kaca”.

Berbagi Ide dengan Para Aktor

Wildan menyebut, sebagian besar ide dan bentuk di atas panggung muncul dari para aktor. Pasalnya, ia ingin sajian pementasan teater ini lahir dari keseharian para aktor, seperti nonton video TikTok dan short Youtube. 

“Saya tanya apa yang mereka rasakan di kehidupan sehari-hari, apa yang mereka lakukan di media sosial. Lalu apa kira-kira bentuk-bentuk yang relate dengan kehidupan mereka di media sosial. Ternyata yang relate bagi mereka adalah scroll video TikTok dan Youtube. Kemasan-kemasan itu yang kemudian hadir di atas panggung,” papar Wildan. 

Tak hanya bentuk gerakan atau gestur badan, Wildan menyebut, bahasa dalam pementasan ini pun menyesuaikan tutur bahasa para aktor di keseharian mereka. Para aktor, kata Wildan, mengusulkan agar bahasa baku yang ada di dalam naskah sesuai dengan bahasa sehari-hari. Meski bahasanya tidak baku, Wildan meyakinkan bahwa maknanya tidak berubah. 

Cuplikan Cerita Saat Teater Kashva Tafsir Ulang

“Persetan buat apa? Setelah kalian habiskan waktu berjam-jam di sini, lalu kalian menjadi kosong dan tak berarti. Apa yang kalian dapatkan dari itu? Bahkan kalian habiskan waktu sia-sia. Persoalannya sangat menyakitkan sekali; Kenapa kalian terlempar kesini? Barangkali sepi yang mendorong kita berada di sini.”

Seorang remaja putri yang tergiur buaian dunia media sosial yang katanya memberikan kebahagiaan, akhirnya sadar. Ia selama ini dijebak untuk mengikuti algoritma atau aturan di dunia media sosial itu. Ia memutuskan untuk keluar dan mengakhiri perjuangannya mengejar target pengikut di dunia media sosial. Namun, kenyataannya ia justru mendapatkan penghargaan. Apakah dia bahagia?

Simbol-simbol Surrealis Teater Kashva

Wildan mengupayakan agar simbol-simbol yang muncul saat Teater Kashva melakukan tafsir ulang dan mementaskahnya di atas panggung, bisa berkaitan dengan kehidupan sehari-hari para aktor agar mereka memahami dan bisa menyampaikan pesannya. Hal ini ia lakukan dengan bedah naskah. Wildan memberikan kebebasan kepada para aktor untuk mengekpresikan simbol-simbol tersebut. 

Ia menyontohkan, untuk menggambarkan bagaimana hubungan seorang anak dan orang tua yang otoriter atau strict parents, adegannya seperti orang tua yang menjauhi anaknya. Adegan ini, kata Wildan, berasal dari ungkapan perasaan para aktor kepada orang tuanya yang ingin dekat, tapi malah menjauh. 

Simbol lain yang menjadi ikonik dari naskah “Boneka Kaca” adalah perwujudan karakter boneka kaca. Wildan memilih bentuk boneka berbentuk balerina karena menurut para aktor yang masih remaja ini, balerina bisa mewakili kebebasan. Tarian balerina yang berputar-putar dan lompat-lompat menyiratkan para aktor sebagai gambaran kebebasan. 

“Mereka merasa bahwa balerina itu bebas, gak ada kekangan. Jadi, kita ambil simbol-simbol yang mereka inginkan. Kita tidak ingin, dengan mementaskan karya ini yang bercerita tentang kebebasan, justru mereka merasa tidak bebas. Pada akhirnya, kita sebagai sutradara bukan menjadi kreator, tapi jadi lalu lintas ide,” jelas Wildan. 

Seniman teater Kota Bogor, Bram L Gerung memberi acungan jempol atas kemampuan sutradara “Boneka Kaca” dalam mengolah aktor dan mengatur pemanggungan. Bram juga menilai naskah “Boneka Kaca” sangat kuat. Kedekatan naskah “Boneka Kaca” dengan para aktor yang diklaim oleh sutradara juga diamini oleh Bram. Menurut Bram, para aktor tidak asing dengan cerita dan konsep pementasan teaternya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *