Teater Pelajar SMK Darmawan Bawa Manusia Android ke Panggung, Ingatkan Dampak Buruk Gadget pada Anak

“Akhirnya! Akhirnya! Apa aku benar-benar diizinkan memiliki The Book?”

“Iya!”

“Akhirnya! Akhirnya! Apa aku benar-benar diizinkan memiliki The Book?”

“Iya!”

“Akhirnya! Akhirnya! Apa aku benar-benar diizinkan memiliki The Book?”

“Iya!”

Larang sukses mendapatkan yang ia inginkan setelah menyelesaikan petualangan. Semua orang bersorak sorai. Manusia android memberikan jubah kepada Larang sebagai tanda bahwa Larang dinobatkan sebagai pengguna The Book (ponsel pintar super canggih).

Sebelumnya, Larang diajak manusia android untuk bepetualang di dunia gadget. Ia harus menyelesaikan misi, yakni menemukan tempat persembunyian monster bernama LAC atau Low Activity Condition dan merebut berlian dari monster tersebut.

Pementasan teater "The Adventure of Larang"

Kelompok teater pelajar SMK Darmawan Kabupaten Bogor, Sekadar Sandiwara mementaskan naskah teater dengan judul “The Adventure of Larang” di Gedung Kamuning Gading Kota Bogor, Selasa (25/7). Naskah karya Deden Fahmi Fadillah ini menceritakan tentang fenomena gadget. Diceritakan, seorang anak dilarang memainkan gadget oleh orang tuanya karena kekhawatiran orang tua akan banyaknya dampak buruk gadget. Akibat tidak memiliki gadget, anak ini sering mendapat perlakuan buruk oleh teman-temannya yang sudah terbiasa memakai gadget. Akhirnya, anak ini dijanjikan oleh orang tuanya boleh memiliki gadget ketika sudah menginjak usia 17 tahun. Dengan kata lain, anak ini akan diberi hadiah gadget di acara ulang tahunnya yang ke-17. 

Pada suatu malam, saat sang anak masih dalam tekanan tidak bisa main gadget serta perlakuan buruk dari teman-temannya, ia berimajinasi dengan membuat sebuah dunia yang bisa membebaskan dirinya main gim sepuasnya. Di dunia imajinasinya, ia bisa main berbagai macam gim yang sering dimainkan teman-temannya. 

Di dunia imajinasinya inilah, ia justru menyadari bahwa sebenarnya kekhawatiran orang tuanya berlebihan dengan melarang dirinya menggunakan gadget. Anak ini merasa bahwa dirinya bisa mengontrol penggunaan gadget sesuai kebutuhannya. 

KONTROL ADALAH KUNCI

Deden, sang penulis naskah, menuturkan pesan inilah yang ingin disampaikan teater pelajar SMK Darmawan ini melalui pementasan teater “The Adventure of Larang”. Menurutnya, penggunaan gadget janganlah dilarang. Jangan juga kemudian menyalahkan gadget atau anak itu sendiri. Deden menilai, kontrol, pengawasan, dan pemberian pemahaman soal penggunaan gadget adalah kunci dalam edukasi bagi orang tua kepada anaknya yang ingin memiliki gadgert di masa anak-anak atau remaja. Tujuannya agar tepat guna dan berdampak positif. Deden meyakini, dengan kontrol yang baik, gadget justru akan membantu sang anak memahami hal-hal baru. 

Deden juga berpandangan pelarangan yang berlebihan justru akan membuat anak memberontak. Premis ini yang ingin disampaikan Deden dalam naskah teater “The Adventure of Larang”. Semakin dilarang, anak semakin menjadi-jadi. Untuk itu, kontrol orang tua sangat penting dalam penggunaan gadget. Deden berpegang teguh pada pandangan ini karena menurutnya setiap teknologi dibuat untuk memudahkan manusia itu sendiri. Kalau pada akhirnya berdampak buruk, kata Deden, manusia itu sendiri yang harus dievaluasi. Tidak terkecuali persoalan kecanduaan gadget. Menurutnya, kecanduan gadget terjadi karena lepasnya pengawasan atau orang tua kalah dalam berdiskusi dengan anak soal suatu hal.

Deden menambahkan, naskah “The Adventure of Larang” adalah tafsir bebas dari naskah teater legendaris “Kapai-kapai” karya penulis yang juga legendaris Arifin C Noer. Namun, Deden mengklaim bahwa naskah ini lebih tepat disebut sebagai respons hasil pembacaan karya. 

GAYA SURREALIS TEATER PELAJAR SMK DARMAWAN

Pementasan teater “The Adventure of Larang” oleh teater pelajar SMK Darmawan ini dikemas dengan gaya surrealis. Gaya teater ini kerap kali membuat bingung penonton karena eksplorasi sutradara dalam menginterpretasi naskah. Namun, sutradara “The Adventure of Larang”, Angga Yuda Septian mengaku telah mempertimbangkan kemampuan penonton dalam menangkap pesan dari pementasan teater Sekadar Sandiwara. Menurutnya, penonton pemantasan ini bisa dipastikan didominasi pelajar karena para pemain juga adalah pelajar SMA. Untuk itu, ia berharap konsep pementasan teater yang disuguhkan tidak membuat bingung penonton. 

“Ya mudah-mudahan gak bingung. Karena kita selalu berusaha memikirkan potensi penerimaan dari penonton yang pangsanya pasti dominan pelajar. Maka banyak konten-konten yang kami usahakan memang menyentuh dan relate dengan penonton,” ujar Angga. 

Angga mengatakan dirinya tidak mempermasalahkan penonton bingung atau tidak. Angga juga tidak mempermasalahkan istilah gaya surrealis atau bukan. Baginya, yang terpenting adalah  bagaimana Sekadar Sandiwara bisa melibatkan “penonton” dalam kajian dan proses berteater. 

“Bagi kami surealis atau bukan, menghasilkan kebingungan atau tidak, yang terpenting bagaimana kita bisa melibatkan “penonton” dalam kajian dan proses,” tutur Angga. 

Dalam proses penciptaan karakter di pementasan teater “The Adventure of Larang” ini, Angga mengungkapkan telah melalui riset yang sesuai dengan keinginan teks naskah dan konteks masalah yang disampaikan. Selain itu, Angga juga melakukan penyesuain-penyesuaian dengan tema Festival Teater Madya dan penontonnya, yakni pelajar. 

Angga mengaku puas dengan hasil keras para pemain dan tim, meski sebelum pentas ia sempat khawatir dengan penampilan “anak asuh”nya. Namun baginya, yang terpenting adalah para pemain sudah sudah menampilkan yang terbaik. 

Seniman teater Kota Bogor, Bram Gerung mengapresiasi gagasan yang dibawakan Sekadar Sandiwara dengan menampilkan gaya surrealis. Namun menurut Bram, para pemain kurang baik membawakan gaya surrealis tersebut. Ia menyebut, aksi-reaksi yang dilakukan para pemain teater pelajar ini kurang halus. Menurutnya, para pelajar ini belum siap membawakan gaya surrealis ini. 

“Gagasannya bagus. Tapi, pemainnya belum siap. Aksi-reaksinya itu masih patah-patah. Tapi kalau ini dilatih 2 bulan lagi, bakal keren,” kata Bram. 

Bram juga mengapresiasi kostum yang dipakai oleh para pemain. Gaya postmodern membuat pementasan teater lebih hidup. Ia ancungi jempol untuk pemilihan warna, kreativitas, dan orisinalitas kostumnya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *