Teater Taat Ogah Jadi Wayang, Para Pelajar Memberontak “Otoritas” di Festival Teater Madya
Negeri Lorelai di ambang kehancuran. Negara membutuhkan generasi baru berkualitas, salah satunya melalui sekolah. Namun, malang nasib Negeri Lorelai ini. Pelajar yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa justru ogah lulus. Para pelajar ini memberontak di detik-detik keputusan kelulusan.

Sekumpulan pelajar menerobos masuk sekolah, menuntut untuk tidak diluluskan. Mereka mengaku tidak layak untuk lulus karena bodoh bahkan tidak hafal lagu kebangsaan. Namun, hal di luar dugaan terjadi. Para pelajar tersebut yang pada akhirnya berhasil mengintimidasi para guru untuk tidak meluluskan mereka, ternyata mereka merayakannya dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Bukti inilah yang kemudian digunakan oleh salah saru guru bernama Garok untuk kembali mengingatkan para guru lainnya agar mencabut keputusan tidak meluluskan siswa.
Garok juga menegaskan, kelulusan para pelajar bukan ditentukan oleh para guru, melainkan kepala sekolah. Melihat Garok yang bersikukuh ingin meluluskan, para pelajar memaksa dan mengancam Garok untuk bekerja sama. Sayangnya, saat Garok akhirnya mau bekerja sama dengan para pelajar itu, fakta baru terungkap. Ternyata, keputusan kelulusan para pelajar bukan di kepala sekolah, melainkan “Otoritas”. Garok juga mengatakan, satu-satunya orang yang mengetahui keberadaan otoritas adalah kepala sekolah. Tak mau buang waktu, para pelajar segera meminta kepala sekolah untuk mengantarkan mereka ke tempat di mana “Otoritas” berada.
DIKENDALIKAN BAGAI BONEKA
Teater Taat SMAN 1 Tajurhalang Kabupaten Bogor membawakan naskah “Wayang Garok” karya Muhammad Habib Koesnady di Festival Teater Madya yang digelar di Gedung Kamuning Gading Kota Bogor, Senin (24/7). Pementasan Teater Taat di FTM ini menceritakan bagaimana pihak pemegang “otoritas” mengendalikan setiap pengambilan keputusan, dalam pementasan ini adalah keputusan kelulusan para pelajar. Pihak yang disebut “Otoritas” tersebut digambarkan mengendalikan guru bernama Garok dan kepala sekolah.
Pemeran Garok, Robby Pandu Wijaya Diva menjelaskan, karakter Garok adalah guru penurut. Karakter ini ditegaskan dengan gerakan seperti boneka kayu yang sedang digerakkan di awal pementasan teater. Gerakan boneka kayu sekaligus menjadi gambaran bagaimana “Otoritas” mengendalikan pihak sekolah sebagai wayangnya.
“Di awal pementasan teater tadi, kami menampilkan agedan di mana saya seperti boneka. Saya seperti dikendalikan dan ceritanya itu melambangkan bahwa saya itu adalah wayang yang dikendalikan oleh Otoritas,” ujar Robby.
Sutradara “Wayang Garok”, Zody Prasetyo mengungkapkan, pementasan teater ini ingin menggambarkan bagaimana sebuah negara memanfaatkan para lulusan sekolah hanya untuk bertani dan bekerja demi kepentingan negara. Para pelajar bukan dibentuk untuk menjadi insan yang kritis dalam berpikir, tapi menjadi boneka “Otoritas” yang bisa dikendalikan.
Dalam pementasan teater ini, kata Zody, para pelajar enggan lulus karena mereka berpandangan dunia luar kejam dan menyeramkan. Para pelajar tidak mau diluluskan karena selama di sekolah mereka bisa berbuat apapun. Hal ini berkebalikan seperti di dunia nyata, yakni pelajar ingin cepat lulus.
GAYA SURREALIS
Pementasan teater “Wayang Garok” menyuguhkan gaya surrealis dari naskah realis karya Muhamad Habib Koesnady. Zody mengungkapkan, konsep ini sebelumnya ia tawarkan kepada para aktor Teater Taat. Menurut Zody, para aktor tertarik dan merasa nyaman dengan konsep surrealis. Ia mengatakan, dengan gaya ini, para aktor bisa mengeksplorasi karakter masing-masing.
“Sebelumnya kami berencana mementaskan teater naskah realis. Tapi di tengah perjalanan, latihan menghadali kendala. Karena aktor yang dilibatkan sedikit, mood menjadi sering kacau. Kemasan ini adalah senang-senangnya Teater Taat. Kita sebagai sutradara tidak memaksakan. Percuma kalau mereka enggak senang. Festival Teater Madya ini adalah pestanya mereka,” papar Zody.
Seniman teater senior Kota Bogor, Bram Gerung mengapresiasi gaya pementasan yang dibawakan Teater Taat. Menurutnya, ada warna lain dari pementasan teater pelajar. Bram menilai, gaya pementasan surrealis di pementasan teater pelajar bukan hal baru. Tetapi menurutnya, sang sutradara berani mengusung genre yang cukup sulit bagi para pemain teater yang terbilang baru.
“Barangkali kalau dibawakan secara realis, ini (pementasan) akan membosankan. Mereka berani menawarkan gagasan baru, naskah realis dibawakan dengan genre surrealis. Genre yang barangkali baru bagi para pemain. Tapi sukses dibawakan. Ini yang menurut saya menarik,” papar Bram.
Bram juga menyoroti tata panggung dan blocking pemain. Menurutnya, bagian ini perlu dikiritisi karena bentuknya linier sehingga tidak ada dimensi yang terbentuk. Bram juga mengkritisi tata musik yang terkesan kurang maksimal mendukung cerita. Ia menilai musik muncul hanya di bagian-bagian gerakan tertentu. Musik terkesan hanya pelengkap belum menjadi bagian dari pertunjukan.